Pages

Tuesday, 15 September 2015

Silsilah Keluarga Buddha

https://id.wikipedia.org/wiki/%C5%9Auddhodana

Keluarga

Ayah Suddhodana adalah Sinahanu, ibunya bernama Ratu Kaccanā. Putra Śuddhodana yakni Siddharta menikahi Yasodharā sepupunya yang adalah putri Suppabuddha dan adik perempuan ayahnya. Istri-istri Śuddhodana yakni Maya dan Mahapajapati Gotami keduanya adalah ibu dan ibu-tiri dari Buddha. Anak-anak lain dari Śuddhodana adalah Puteri Sundari Nanda dan Pangeran Nanda[2]

Biografi

Kelahiran Buddha

Buddha Gautama lahir di Lumbini, Nepal. Suatu ketika seorang rishi Asita Siddhartha ketika ia masih bayi dan sangat terkejut ketika sang pangeran menaruh kakinya di atas kepala Asita. Setelah Asita memerika kaki pangeran tersebut, ia bersujud dan memberi sembah kepada si bayi. Raja Suddhodana meniru tindakan tersebut. Nama Siddharta tersebut diberikan oleh Lima Brahmana Hutan, Kaundinya, Mahaanaama, Baspa, Asvajita dan Bharika; yang kemudian menjadi pengikut Buddha ketika ia melalui proses pertapaan dan juga merupakan lima pengikut pertama setelah ia mencapai pencerahan.
Sudah digariskan bahwa anak Suddhodana, Siddharta, akan menjadi seorang chakravartin agung atau kekaisaran universal. Akan tetapi, bila ia melihat empat tanda-tanda, seorang tua, orang sakit, mayat dan bhikkhu, ia sebaliknya akan menjadi seorang bijaksana yang agung. Setelah mendengarkan hal ini, Suddhodana berusaha untuk menjaga Siddhartha dan terlindung dari dunia luar supaya ia tidak akan pernah melihat empat tanda-tanda tersebut, dan sebaliknya menjadi seorang penguasa yang berkuasa. Akan tetapi, upaya ini tidak berhasil dan Siddharta menjadi seorang bijaksana, meninggalkan kehidupan kerajaan yang mewah untuk sebuah perjalanan sederhana guna mencari pencerahan.[butuh rujukan]

Kehidupan selanjutnya

Menurut legenda, Suddhodana meratapi kepergian anaknya dan berupaya keras untuk mencari tahu keberadaannya. Bertahun-tahun kemudian, setelah Suddhodana mendapat kabar bahwa Siddharta mencapai pencerahan, ia mengirim seorang pesuruh beserta dengan 10.000 pendamping untuk mengundang Siddharta kembali ke tanah Shakya. Buddha kemudian menyampaikan ceramah kepada pesuruh dan 10.000 pendamping yang pada akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan Sangha dan tidak kembali lagi. Suddhodana kemudian mengutus teman dekat Siddharta, Kaludayi, untuk mengundangnya kembali. Kaludayi juga memilih untuk menjadi seorang bhikkhu, tetapi menepati janjinya untuk mengundang Buddha kembali ke tanah kelahirannya. Buddha menerima undangan ayahnya dan kembali ke tanah kelahirannya. Selama kunjungan tersebut, ia menyampaikan Dhamma kepada Suddhodana.
Beberapa tahun kemudian, ketika Buddha mendengar bahwa kematian Suddhodana sudah mendekat, ia sekali lagi kembali ke tanah kelahirannya dan berceramah lebih lanjut kepada Suddhodana. Raja Suddhodana mencapai tingkat arahat.

Referensi

  1. ^ Dalam Kanon Pali, terdapat dua diskusi yang merujuk tegas tentang Suddhodana: DN 14, Mahāpadāna Sutta, dan dalam syair pembuka di Sn 3.11, Nālaka Sutta. Pada setiap diskusi ini, Suddhodana digambarkan sebagai ayah Buddha dan sebagai Raja Sakya. Untuk terjemahan dari diskusi yang kemudian, lihat Thanissaro, 1998.
  2. ^ Dictionary of Buddhism, Keown, Oxford University Press, ISBN 0-19-860560-9

INTERMEZOO

VIDEO LUCU
PUCANG AMBRUK
Ds, Nalen RT 04/RW 06 Watuagung Kec. Tuntang Kab. Semaramg Jawa Tengah
Monggo Ditonton

Mitos Kunto Bimo di Candi Borobudur, Apa Itu?

Bhagavant.com,
Jawa Tengah, Indonesia – Salah satu daya tarik dari Candi Borobudur bagi para wisatawan adalah keberadaan mitos Kunto Bimo. Meskipun banyak yang menyangkal kebenaran mitos ini, tapi tidak sedikit yang mempercayainya dengan melakukannya dengan alasan “coba-coba” atau “hanya iseng”.

Susunan stupa di tingkat arupadhatu Candi Borobudur, Jawa Tengah, Indonesia.
Susunan stupa di tingkat arupadhatu Candi Borobudur, Jawa Tengah, Indonesia. Foto: wikimedia.org
Apa kata mitos?
Mitos Kunto Bimo yang dipercaya masyarakat sekitar Borobudur mengatakan bahwa siapa saja yang merogoh ke dalam sebuah stupa berongga (berterawang) dan dapat menyentuh bagian tertentu dari tubuh arca Buddha yang ada di dalamnya maka ia akan mendapatkan keberuntungan atau terkabul keinginannya.
Ada yang mengatakan bagi pria ia harus memegang jari manis namun ada yang mengatakan jari kelingking dari arca Buddha yang berada dalam posisi tangan (mudra) Dharmachakra (Pali: Dhammacakka – roda Dharma). Sedangkan bagi wanita ia harus memegang telapak kakinya atau tumit, namun ada yang mengatakan ibu jari kaki.
Karena mitos itu, arca Buddha tersebut dikenal dengan nama arca Kunto Bimo. Dan stupa yang menutupnya tersebut merupakan stupa berongga belah ketupat di lantai atau teras bundar pertama dari tingkat arupadhatu atau tingkat ke-7 dari 10 tingkatan candi, dan terletak di sebelah timur candi atau stupa pertama yang berada di sebelah kanan dari tangga pintu timur.
Awal mitos Kunto Bimo
Mitos Kunto Bimo melibatkan arca Buddha di dalam stupa berongga belah ketupat di Candi Borobudur, Jawa Tengah, Indonesia.
Mitos Kunto Bimo melibatkan arca Buddha di dalam stupa berongga belah ketupat di Candi Borobudur, Jawa Tengah, Indonesia. Foto: wikimedia.org
Meskipun terkenal, sangat sedikit yang mengetahui asal usul dan arti dari Kunto Bimo. Menurut mendiang Drs. R. Soekmono, salah satu arkeolog Indonesia yang pernah memimpin proyek pemugaran Candi Borobudur pada tahun 1971-1983, mitos yang tidak ada kaitannya dan tidak diajarkan dalam Agama Buddha tersebut merupakan akal-akalan oknum petugas candi pada tahun 1950-an.
Mitos Kunto Bimo diawali dengan keinginan oknum petugas candi yang ingin meningkatkan pendapatan mereka dengan membuat daya tarik di Candi Borobudur untuk para pengunjung. Mereka menaburkan bunga dan uang pada satu arca dalam stupa sehingga memberi kesan mistis. Dan itu berhasil. Pengunjung mulai latah dan oknum petugas pun mendapatkan penghasilan yang lumayan.
Perilaku pengunjung Candi Borobudur yang mengistimewakan salah satu arca Buddha di arupadathu juga pernah disinggung oleh August Johan Bernet Kempers (1906-1992), seorang arkeolog asal Belanda, dalam bukunya Ageless Borobudur.
Perilaku memberi uang kepada arca tersebut kemudian diikuti dengan tindakan merogoh dan menyentuh bagian dari arca Buddha untuk mendapatkan hoki. Tidak diketahui secara pasti mengapa yang harus disentuh adalah jari manis dan tumit. Diduga ini juga merupakan sebuah permainan akal-akalan agar para pengunjung tidak dengan mudah begitu saja melakukannya dan tidak mudah begitu saja mendapatkan apa yang mereka inginkan. Yang pasti, jika diperhatikan kedua bagian yang harus disentuh tersebut berada hampir di tengah-tengah stupa, jarak terjauh dari luar stupa.
Asal kata Kunto Bimo
Berdasarkan cerita masyarakat setempat, istilah Kunto Bimo berasal dari kata “Kunto” dan “Bimo”. Kata “Kunto” dianggap berasal dari kata dalam bahasa Jawa yaitu “ngento-ento” (ngenta-enta) yang berarti “mengira-kira”, atau “ngenta-ento” yang berarti “permintaan-mendapatkan”. Dan kata “Bimo” dari kata “Bima” yaitu salah satu tokoh dari Pandawa Lima dalam kisah Mahabharata yang juga dikenal dengan nama Werkudoro (Skt: Vrikodara) yang memiliki sifat pantang menyerah. Dengan demikian “Kunto Bimo” diduga berarti permintaan pantang menyerah dan mengira-kira (berharap) mendapatkan hasilnya.
Secara harfiah, Kunto Bimo sendiri berasal dari kata “Kunta Bima” (Skt: Kunta Bhima), “kunta” bisa berarti “batang” atau “lembing” atau juga bisa berarti gairah atau keinginan, dan “bima” adalah Bhima dari tokoh Pandawa yang berarti “mengerikan” atau “luar biasa” atau “dahsyat”.
Mitos Kunto Bimo: siapa yang dapat menyentuh jari manis atau tumit arca Buddha akan mendapatkan keberuntungan.
Mitos Kunto Bimo: siapa yang dapat menyentuh jari manis atau tumit arca Buddha akan mendapatkan keberuntungan.
Mengandung Bahaya
Di balik kepopulerannya, mitos Kunto Bimo juga mengandung unsur bahaya, baik untuk pengunjung maupun terlebih untuk kelestarian Candi Borobudur.
Pada Juni tahun 2010, karena terpengaruh mitos Kunto Bimo, seorang anak balita terjepit kepalanya di salah satu stupa karena ingin meroggoh arca Buddha. Selama kurang lebih setengah jam sejumlah Petugas Balai Konservasi Peninggalan Borobudur secara perlahan-lahan mengeluarkan kepala anak itu dari stupa. Meskipun peristiwa ini tidak terjadi di arca Kunto Bimo, namun sempat mengundang perhatian.
Mitos Kunto Bimo yang mendorong para pengunjung untuk merogoh arca Buddha di dalam stupa juga dapat merusak stupa itu sendiri. Dorongan badan yang kuat dari usaha para pengunjung untuk merogoh akan menekan batuan penyusun stupa yang akhirnya dapat merusaknya. Belum lagi sentuhan dari telapak tangan dan jari para pengunjung yang kotor dan mengandung mineral-mineral yang dapat mempercepat pelapukan arca Buddha yang ada di dalamnya.
Stop merogoh stupa Candi Borobudur.
Stop merogoh stupa Candi Borobudur.
Apa yang Buddha ajarkan
Seperti yang telah disampaikan, mitos Kunto Bimo sama sekali tidak ada kaitan dengan ajaran Agama Buddha. Alih-alih mengajarkan hanya menyentuh sesuatu dan berharap maka seseorang akan mendapatkan keinginannya seperti kekayaan, kesehatan, umur panjang, dan kehidupan mulia, Agama Buddha justru mengajarkan agar seseorang berupaya menempuh jalan atau cara yang mengarah pada keinginannya itu yaitu dengan tekun melakukan kebajikan.
“Bagi ia yang menginginkan kesehatan dan umur yang panjang, kecantikan, surga, dan kelahiran mulia, [berbagai] kegembiraan luhur yang berturut-turut, para bijaksana memuji ketekunan dalam melakukan kebajikan,” demikian sabda Sri Buddha dalam Appamāda Sutta (Saṃyutta Nikāya 3.17).
Jika seseorang ingin berumur panjang, maka hindarilah pembunuhan, jika seseorang ingin minim dari penyakit maka hindarilah kebiasaan menyakiti makhluk hidup. Jika seseorang ingin memiliki kekayaan maka berikanlah kebutuhan pokok kepada para petapa atau mereka yang berpenghidupan suci. Dan seterusnya seperti yang tercantum dalam Cūḷakammavibhanga Sutta (Majjhima Nikāya 135).
Terlepas dari arti sebenarnya dan melihat tidak bermanfaatnya mitos Kunto Bimo bahkan cenderung dapat merusak candi, sudah saatnya mitos ini ditinggalkan. Dimulai dari diri umat Buddha khususnya umat Buddha Indonesia sebagai “pewaris” Candi Borobudur untuk tidak tergoda dengan latah merogoh arca Kunto Bimo, meskipun hanya untuk “iseng-iseng” semata. Dan sangat disayangkan jika pengelola candi termasuk pemandu wisata tidak melarang keras tindakan merogoh stupa ini.[Bhagavant, 9/9/15, Sum]

Sumber : http://berita.bhagavant.com/2015/09/09/mitos-kunto-bimo-di-candi-borobudur-apa-itu.html

Monday, 14 September 2015

Asta Dasa Kotamaning Prabu


 
Asta Dasa Kotamaning Prabu atau 18 ilmu kepemimpinan Jawa dari jaman keemasan Kerajaan Majapahit di bumi Nusantara ini. Ke-18 prinsip-prinsip kepemimpinan

Wijaya, artinya seorang pemimpin harus mempunyai jiwa yang tenang, sabar dan ­bijaksana serta tidak lekas panik dalam menghadapi berbagai macam persoalan karena hanya dengan jiwa yang tenang masalah akan dapat dipecahkan;

Mantriwira, artinya seorang pemimpin harus berani membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan tanpa terpengaruh tekanan dari pihak manapun;

Natangguan, artinya seorang pemimpin harus mendapat kepercayaan dari masyarakat dan berusaha menjaga kepercayaan yang diberikan tersebut sebagai tanggung jawab dan kehormatan;

Satya Bakti Prabu, artinya seorang pemimpin harus memiliki loyalitas kepada kepentingan yang lebih tinggi dan bertindak dengan penuh kesetiaan demi nusa dan bangsa;

Wagmiwak, artinya seorang pemimpin harus mempunyai kemampuan mengutarakan pendapatnya, pandai berbicara dengan tutur kata yang tertib dan sopan serta mampu menggugah semangat masyarakatnya;

Wicaksaneng Naya, artinya seorang pemimpin harus pandai berdiplomasi dan pandai mengatur strategi dan siasat;

Sarjawa Upasama, artinya seorang pemimpin harus rendah hati, tidak boleh sombong, congkak, mentang-mentang jadi pemimpin dan tidak sok berkuasa;

Dirosaha, artinya seorang pemimpin harus rajin dan tekun bekerja, pemimpin harus memusatkan rasa, cipta, karsa dan karyanya untuk mengabdi kepada kepentingan umum;

Tan Satresna, maksudnya seorang pemimpin tidak boleh memihak/pilih kasih terhadap salah satu golongan atau memihak saudaranya, tetapi harus mampu mengatasi segala paham golongan, sehingga dengan demikian akan mampu mempersatukan seluruh potensi masyarakatnya untuk mensukseskan cita-cita bersama;

Masihi Samasta Buwana, maksudnya seorang pemimpin mencintai alam semesta dengan melestarikan lingkungan hidup sebagai karunia dari Tuhan/Hyang Widi dan mengelola sumber daya alam dengan sebaik-baiknya demi kesejahteraan rakyat;

Sih Samasta Buwana, maksudnya seorang pemimpin dicintai oleh segenap lapisan masyarakat dan sebaliknya pemimpin mencintai rakyatnya;

Negara Gineng Pratijna, maksudnya seorang pemimpin senantiasa mengutamakan kepentingan negara dari pada kepentingan pribadi ataupun golongan, maupun keluarganya; 

Dibyacita, maksudnya seorang pemimpin harus lapang dada dan bersedia menerima pendapat orang lain atau bawahannya;

Sumantri, maksudnya seorang pemimpin harus tegas, jujur, bersih dan berwibawa;

Nayaken Musuh, maksudnya dapat menguasai musuh-musuh, baik yang datang dari dalam maupun dari luar, termasuk juga yang ada di dalam dirinya sendiri;

Ambek Parama Arta, maksudnya seorang pemimpin harus pandai menentukan prioritas atau mengutamakan hal-hal yang lebih penting bagi kesejahteraan dan kepentingan umum;

Waspada Purwa Arta, maksudnya seorang pemimpin selalu waspada dan mau melakukan mawas diri untuk melakukan perbaikan;

Prasaja, artinya seorang pemimpin supaya berpola hidup sederhana, tidak berfoya-foya atau serba gemerlap.



Sumber Gambar
https://encrypted-tbn2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTgFNGx5ARD7vgwu5T8BXf4m_JO2xoEX42l1jXK8cyJ9LaHr1tN