Para pencari kebajikan yang telah
berkumpul di sini, mohon dengarkanlah dengan tenang. Mendengarkan Dhamma
dengan tenang artinya mendengarkan dengan pikiran yang terpusat,
memperhatikan apa yang kalian dengar dan kemudian melepaskannya.
Mendengarkan Dhamma sangatlah bermanfaat. Ketika mendengarkan Dhamma,
kita diajak untuk secara teguh membuat tubuh dan pikiran berada dalam
keadaan samadhi, karena ia merupakan salah satu dari praktek Dhamma.
Pada zaman Sang Buddha, orang-orang mendengarkan khotbah Dhamma dengan
sungguh-sungguh, dengan pikiran yang bertekad untuk memahami segala
sesuatu dengan sebenar-benarnya, dan ada di antara mereka yang
benar-benar menyadari dan memahami Dhamma ketika sedang mendengarkan.
Tempat ini sangat cocok untuk berlatih
meditasi. Setelah tinggal di sini untuk beberapa malam, saya mengetahui
bahwa di sini adalah tempat yang penting. Di bagian luarnya, ia sudah
damai, dan tinggal yang bagian dalamnya saja, hati dan pikiran kalian.
Jadi, saya minta kalian semua untuk berusaha keras memperhatikan dengan
seksama.
Mengapa kalian berkumpul di sini untuk
berlatih meditasi? Itu karena hati dan pikiran kalian tidak memahami apa
yang seharusnya dipahami. Dengan kata lain, kalian tidak benar-benar
mengetahui bagaimana segala sesuatunya itu, atau segala sesuatunya itu
apa. Kalian tidak mengetahui mana yang salah dan mana yang benar, apa
yang menyebabkan kalian menderita dan ragu-ragu. Jadi, pertama-tama
kalian harus menenangkan diri kalian sendiri. Alasan kalian datang ke
sini guna mengembangkan ketenangan dan ketahanan diri dari hawa nafsu,
adalah karena hati dan pikiran kalian tidak nyaman. Pikiran kalian tidak
tenang, tidak mampu menahan diri dari hawa nafsu. Mereka
diombang-ambingkan oleh keragu-raguan dan godaan. Inilah alasannya
mengapa kalian datang ke sini pada hari ini dan sekarang sedang
mendengarkan Dhamma.
Saya harap kalian berkonsentrasi dan
mendengarkan dengan cermat apa yang saya katakan, dan saya meminta izin
untuk berbicara dengan terus terang, karena memang begitulah saya. Harap
dimengerti walaupun saya berbicara dengan kesan agak memaksa, saya
melakukannya dengan maksud dan tujuan yang baik. Saya meminta maaf
kepada kalian, jika ada ucapan-ucapan saya yang menyinggung hati kalian,
karena budaya Thailand dan budaya Barat tidaklah sama. Sebenarnya,
berbicara dengan sedikit memaksa bisa jadi bermanfaat, karena ia dapat
membantu memancing semangat orang-orang yang lesu atau mengantuk, yang
bukannya memaksa diri mereka sendiri untuk mendengarkan Dhamma tetapi
sebaliknya malah terhanyut dalam kepuasan diri dan sebagai akibatnya
mereka tidak mengerti apa pun.
Walaupun kelihatannya terdapat banyak
cara untuk berlatih, tetapi sebenarnya hanya ada satu cara saja. Seperti
tanaman-tanaman buah, bisa saja kita mempercepatnya untuk berbuah
dengan cara menanam cangkokannya, tetapi tanaman tersebut tidak akan
bertahan lama. Cara lain adalah dengan menanam tanaman tersebut dari
benihnya, yang akan menghasilkan tanaman yang kuat dan tahan lama.
Berlatih adalah sama seperti ini.
Ketika saya berlatih untuk pertama
kalinya, saya menghadapi kendala untuk memahami hal ini. Selama saya
tidak mengetahui sesuatunya itu apa, meditasi duduk adalah hal yang
benar-benar sulit, bahkan bisa sampai membuat saya menangis.
Kadang-kadang target saya akan terlalu tinggi, di lain waktu kurang
tinggi, tak pernah menemukan titik keseimbangan. Berlatih dengan cara
yang damai artinya adalah menempatkan pikiran tidak terlalu tinggi atau
terlalu rendah, tetapi pada titik keseimbangan.
Saya dapat melihat bahwa hal ini sungguh
membingungkan kalian, yang datang dari berbagai tempat yang
berbeda-beda dan telah berlatih dengan cara yang berbeda-beda dengan
dibimbing oleh guru yang berbeda-beda pula. Datang ke sini untuk
berlatih, kalian pasti telah dicemari dengan berbagai jenis
keragu-raguan. Guru yang satu bilang kalian harus berlatih dengan cara
yang ini, guru yang lain mengatakan kalian seharusnya berlatih dengan
cara yang lain pula. Kalian bertanya-tanya cara yang mana yang harus
dipakai, tanpa memahami esensi dari latihan. Hasilnya adalah
kebingungan. Begitu banyak guru dan begitu banyak ajaran sehingga tidak
seorang pun yang tahu bagaimana cara menyelaraskan latihan mereka. Dan
sebagai akibatnya, terdapat begitu banyak keragu-raguan dan
ketidakpastian.
Jadi, kalian harus mencoba untuk tidak
berpikir terlalu banyak. Jika kalian memang benar-benar berpikir, maka
lakukanlah dengan penuh kesadaran. Tetapi sejauh ini, pemikiran kalian
telah diwujudkan tanpa melalui kesadaran yang tinggi. Pertama-tama,
kalian harus membuat pikiran kalian tenang. Di mana ada yang mengetahui,
maka di sana tidak ada keperluan untuk berpikir, kesadaran akan muncul
pada tempatnya, dan ini selanjutnya akan menjadi kebijaksanaan (panna).
Tetapi jenis pikiran yang biasa, bukanlah kebijaksanaan, ia hanyalah
pikiran yang tidak mempunyai tujuan dan yang berkelana secara tidak
sadar, dan yang tak terelakkan lagi akan berubah menjadi godaan dan
hasutan. Ini bukanlah kebijaksanaan.
Pada tahap ini, kalian tidak perlu
berpikir. Kalian telah banyak berpikir di rumah, bukan? Ia hanya akan
memanas-manasi hati. Kalian harus membangkitkan sedikit kesadaran.
Pikiran yang terlalu menggebu-gebu bahkan akan membuat kalian menangis,
cobalah saja. Tersesat di dalam gerbong kereta api pikiran, tidak akan
menuntun kalian kepada kebenaran, ia bukanlah kebijaksanaan. Sang Buddha
adalah orang yang sangat bijaksana, dia telah mempelajari cara untuk
menghentikan pikiran. Dengan cara yang sama, kalian juga sedang berlatih
untuk menghentikan pikiran dan tiba pada kedamaian. Jika kalian sudah
tenang, maka kalian tidak perlu lagi untuk berpikir, kebijaksanaan akan
muncul pada tempatnya.
Untuk bermeditasi, kalian tidak perlu
berpikir lebih banyak ketimbang bertekad bahwa saat ini adalah waktunya
untuk melatih pikiran dan tidak ada yang lain. Jangan biarkan pikiran
bergerak ke kiri atau ke kanan, ke depan atau ke belakang, ke atas atau
ke bawah. Satu-satunya tugas kita sekarang adalah berlatih untuk
memperhatikan nafas dengan penuh perhatian. Pusatkan perhatian kalian di
kepala dan gerakkanlah ia ke bawah melalui tubuh menuju ke ujung kaki,
dan kemudian kembali ke atas menuju puncak kepala. Arahkan kesadaran
kalian ke bawah melewati tubuh, meneliti dengan kebijaksanaan. Kita
melakukan ini untuk mencapai suatu pemahaman awal tentang sifat-sifat
sejati tubuh ini. Kemudian meditasi barulah dimulai, dengan mengingat
bahwa kali ini, satu-satunya tugas kalian adalah untuk memperhatikan
nafas masuk dan nafas keluar. Jangan memaksa nafas agar menjadi lebih
panjang atau lebih pendek dari biasanya, biarkan saja ia seperti apa
adanya. Jangan memberi tekanan apa pun pada nafas, biarkan ia mengalir
secara seimbang, lepaskanlah dengan setiap tarikan dan hembusan nafas.
Kalian harus memahami bahwa kalian
sedang melepaskan ketika kalian melakukan hal ini, tetapi di sana
seharusnya tetap ada kesadaran yang tinggi. Kalian harus mempertahankan
kesadaran ini, membiarkan nafas masuk dan keluar dengan nyaman. Tidak
perlu memaksakan nafas, biarkan saja ia mengalir dengan mudah dan alami.
Pertahankanlah tekad bahwa pada saat ini kalian tidak mempunyai tugas
atau tanggung jawab yang lain. Pikiran-pikiran tentang apa yang akan
terjadi, apa yang akan kalian ketahui atau lihat selama bermeditasi,
bisa saja muncul dari waktu ke waktu, tetapi begitu mereka muncul,
biarkan saja mereka berhenti sendiri, jangan dengan sia-sia
mengkhawatirkan mereka.
Selama meditasi, adalah tidak perlu
untuk memperhatikan kesan-kesan indera. Bilamana pikiran dipengaruhi
oleh benturan-benturan sensasi, bilamana terdapat perasaan atau sensasi
di dalam pikiran, lepaskan saja dia. Apakah sensasi-sensasi itu baik
atau buruk, itu tidaklah penting. Tidak perlu membentuk apa pun dari
sensasi-sensasi itu, lepaskan saja mereka pergi dan kembalilah untuk
memperhatikan nafas. Pertahankanlah kesadaran pada nafas masuk dan
keluar. Jangan membuat penderitaan gara-gara nafas yang terlalu panjang
atau terlalu pendek, hanya perhatikan saja dia tanpa mencoba untuk
mengatur atau menekannya dengan cara apa pun. Dengan kata lain, jangan
melekat. Biarkan nafas berlanjut seperti apa adanya, dan pikiran akan
menjadi tenang. Selanjutnya, pikiran akan secara bertahap meletakkan
semuanya dan beristirahat, nafas menjadi semakin ringan dan semakin
ringan, hingga ia menjadi begitu lemah seolah-olah ia tidak berada di
sana sama sekali. Baik tubuh maupun pikiran akan terasa ringan dan
berenergi. Dan semua yang tersisa adalah sang mengetahui yang terpusat
pada satu titik. Kalian dapat mengatakan bahwa pikiran telah berubah dan
mencapai suatu keadaan yang tenang.
Jika pikiran tergoda, bangkitkan
perhatian penuh dan tarik nafas dalam-dalam sampai tidak ada ruang
kosong lagi untuk menampung udara, lalu lepaskan semuanya hingga tak ada
yang tersisa. Ikuti dengan tarikan nafas dalam-dalam yang lain sampai
kalian penuh, kemudian hembuskan udara keluar lagi. Lakukan ini dua atau
tiga kali, setelah itu bangunlah kembali konsentrasi. Pikiran
seharusnya menjadi lebih tenang. Jika ada lagi kesan-kesan indera yang
menyebabkan pikiran menjadi terpancing, ulangi langkah ini di setiap
kesempatan. Sama halnya dengan meditasi berjalan. Jika pada saat
berjalan, pikiran menjadi tergoda, berhentilah tanpa bergerak, tenangkan
pikiran, bangkitkan kembali kesadaran diri dengan objek meditasi dan
kemudian lanjutkan kembali berjalan. Meditasi duduk dan berjalan pada
intinya adalah sama, berbeda hanya pada posisi tubuh.
Kadang-kadang akan ada keragu-raguan,
jadi kalian harus memiliki sati, menjadi yang mengetahui, yang secara
terus-menerus mengikuti dan memeriksa pikiran yang tergoda, dalam bentuk
apa pun ia. Ini artinya untuk memiliki sati. Sati mengawasi dan menjaga
pikiran kita. Kalian harus mempertahankan yang mengetahui ini dan tidak
ceroboh atau tersesat, tidak perduli dalam kondisi apa pun pikiran itu.
Taktiknya adalah dengan menjadikan sati
sebagai pengatur dan pengawas pikiran. Begitu pikiran dipersatukan
dengan sati, kesadaran diri yang baru akan muncul. Pikiran yang telah
mengembangkan ketenangannya, ditahan untuk diperiksa oleh ketenangan
itu, seperti seekor ayam yang dikurung di sangkarnya… si ayam tidak bisa
keluar ke mana-mana, tetapi ia tetap bisa bergerak di dalam sangkar
itu. Ia berjalan ke sana ke mari, tak menyebabkan masalah pada dirinya,
karena ia dikurung di dalam sangkar. Begitu pula halnya dengan kesadaran
yang muncul ketika pikiran memiliki sati dan dalam keadaan yang tenang,
tidak akan menyebabkan masalah. Tidak ada satu pun pikiran atau
perasaan yang muncul di dalam pikiran yang tenang, yang akan menimbulkan
bahaya atau gangguan.
Beberapa orang tidak ingin mengalami
bentuk-bentuk pikiran atau perasaan-perasaan sama sekali, tetapi ini
sudah terlalu jauh. Perasaan muncul di dalam keadaan yang tenang.
Pikiran mengalami bentuk-bentuk perasaan dan ketenangan sekaligus pada
waktu yang sama, tanpa ada gangguan. Bila ada ketenangan seperti ini,
tidak ada akibat yang membahayakan. Persoalan muncul bilamana “ayam”
keluar dari “sangkarnya”. Sebagai contoh, kalian mungkin sedang
mengawasi nafas masuk dan keluar dan kalian melupakan diri kalian
sendiri, membiarkan pikiran mengembara ke mana-mana menjauhi nafas,
kembali ke rumah, pergi ke toko-toko atau ke beberapa tempat yang
berbeda-beda. Bahkan mungkin sesudah setengah jam lewat, kalian
tiba-tiba menyadari bahwa kalian seharusnya berlatih meditasi dan
menghukum diri kalian sendiri karena tidak memiliki sati. Di sini kalian
harus benar-benar waspada, karena di sinilah tempat di mana ayam keluar
dari sarangnya – pikiran meninggalkan dasar ketenangannya.
Kalian harus berhati-hati dalam
mempertahankan kesadaran dengan sati dan mencoba menarik kembali pikiran
kalian. Walaupun saya memakai kata “menarik kembali pikiran”, tetapi
pada kenyataannya pikiran sebenarnya tidak pergi ke mana-mana. Selama
ada sati, pikiran akan hadir di sana. Kelihatannya kalian seperti
menarik kembali pikiran, tetapi sebenarnya ia belum pergi ke mana pun,
ia hanya berubah sedikit. Kelihatannya pikiran pergi ke sana dan ke
sini, tetapi kenyataannya perubahan terjadi tepat pada satu titik. Bila
sati telah dicapai kembali, dalam sekejap kalian kembali bersama-sama
dengan pikiran tanpa perlu membawanya dari tempat lain.
Bila ada pengetahuan secara total, suatu
kesadaran yang berkelanjutan dan tidak putus pada setiap saat, ini yang
disebut kehadiran pikiran. Jika perhatian kalian melenceng dari nafas
ke tempat-tempat yang lain, maka yang mengetahui ini akan putus.
Bilamana ada kesadaran terhadap pernafasan, pikiran ada di sana. Dengan
adanya nafas dan kesadaran yang berkelanjutan dan seimbang ini saja,
kalian telah memiliki pikiran yang hadir di sana.
Harus ada sati dan sampajanna. Sati
adalah perhatian penuh dan sampajanna adalah kesadaran diri. Kini,
kalian telah menyadari nafas secara jelas. Latihan untuk mengawasi nafas
ini membantu sati dan sampajanna untuk berkembang bersama-sama. Mereka
berbagi pekerjaan. Memiliki baik sati maupun sampajanna adalah seperti
menyuruh dua orang pekerja untuk mengangkat sebuah papan kayu yang
berat. Anggap saja ada dua orang yang mencoba mengangkat beberapa papan
yang berat, tetapi beratnya begitu hebat, mereka harus bekerja keras,
hingga mereka hampir saja menyerah. Lalu ada orang lain, dengan maksud
hati yang baik, melihat mereka dan bergegas membantu mereka. Dengan cara
yang sama, bila ada sati dan sampajanna, maka panna (kebijaksanaan)
akan muncul pada tempat yang sama untuk datang memberikan pertolongan.
Lalu mereka bertiga akan saling membantu.
Dengan panna, maka di sana akan ada
pemahaman terhadap objek-objek indera. Sebagai contoh, selama
bermeditasi, objek-objek indera akan dialami, yang akan menimbulkan
perasaan dan suasana hati. Kalian mungkin berpikir tentang seorang
sahabat, tetapi kemudian panna seharusnya mengatasinya dengan segera.
“Itu tidak masalah”, “Berhenti” atau “Lupakan saja dia”. Atau jika ada
pikiran-pikiran tentang ke mana kalian akan pergi esok hari, dan
tanggapannya adalah, “Saya tidak tertarik, saya tidak mau membebani diri
saya dengan hal-hal semacam itu”. Mungkin kalian mulai memikirkan orang
lain, maka kalian seharusnya berpikir, “Tidak, saya tak mau terlibat”.
“Lepaskan saja”, atau “Mereka semua tidak pasti dan tidak pernah menjadi
sesuatu yang pasti”. Beginilah seharusnya kalian menghadapi hal-hal
seperti ini di dalam meditasi, kenali mereka sebagai “tidak pasti, tidak
pasti”, dan pertahankanlah kesadaran semacam ini.
Kalian harus melepaskan semua pikiran,
percakapan di dalam batin dan keragu-raguan. Jangan terjebak oleh
hal-hal semacam ini selama bermeditasi. Pada akhirnya, semua yang
tersisa di dalam pikiran yang berada dalam bentuknya yang paling murni
adalah sati, sampajanna dan panna. Bilamana ketiganya lemah,
keragu-raguan akan muncul, tetapi cobalah untuk mengabaikan
keragu-raguan itu secepatnya, menyisakan hanya sati, sampajanna dan
panna. Cobalah untuk mengembangkan sati seperti ini hingga ia dapat
dipertahankan pada setiap saat. Lalu kalian akan memahami sati,
sampajanna dan samadhi secara mendalam.
Memusatkan perhatian pada titik ini,
kalian akan melihat sati, sampajanna, samadhi dan panna sekaligus.
Apabila kalian tertarik kepada atau ditolak oleh objek-objek indera yang
ada di luar, kalian akan mampu berkata pada diri sendiri, “Ia tidak
pasti”. Apa pun itu, mereka hanyalah hambatan-hambatan yang akan disapu
hingga pikiran menjadi bersih. Yang seharusnya tersisa adalah sati,
perhatian penuh; sampajanna, kesadaran diri yang jernih; samadhi,
pikiran yang kokoh dan tidak tergoyahkan; dan panna, atau kebijaksanaan
yang sempurna. Untuk sementara, hanya ini saja yang akan saya sampaikan
mengenai subjek meditasi.
Sekarang, tentang alat-alat bantu untuk
latihan meditasi – metta (kebaikan hati) di dalam batin kalian, dengan
kata lain, kualitas dari kemurahan hati, kebaikan dan keinginan membantu
yang lain. Ini semua harus dipertahankan sebagai dasar dari kemurnian
mental. Sebagai contoh, mulailah mengatasi lobha, atau sifat
mementingkan diri sendiri, dengan memberi. Bila orang-orang mementingkan
diri sendiri, mereka tidak bahagia. Sifat mementingkan diri sendiri
akan menuntun kepada perasaan tidak puas, namun orang cenderung menjadi
begitu egois tanpa menyadari akibatnya terhadap mereka.
Kalian dapat mengalami hal ini pada
setiap saat, terutama ketika kalian lapar. Anggap saja kalian
mendapatkan beberapa buah apel dan kalian memiliki kesempatan untuk
membaginya dengan seorang teman; kalian memikirkannya sebentar, dan,
tentu saja, keinginan untuk memberi memang ada, tetapi kalian ingin
memberikan apel yang lebih kecil. Memberikan apel yang lebih besar akan…
yah, memang sesuatu yang memalukan. Sungguh sulit untuk berpikir dengan
ketulusan hati. Kalian mempersilahkan mereka untuk mengambil sebuah,
tetapi kemudian kalian berkata, “Ambil saja yang ini!”… dan memberikan
mereka apel yang lebih kecil! Ini adalah salah satu jenis sifat egois
yang biasanya tak diperhatikan orang. Pernahkah kalian menjadi seperti
ini?
Kalian benar-benar harus melawan
kecenderungan di dalam diri, untuk memberi. Walaupun kalian benar-benar
ingin memberikan apel yang lebih kecil, kalian harus memaksa diri kalian
sendiri untuk memberikan apel yang lebih besar. Tentu saja, begitu
kalian memberikannya kepada teman kalian, kalian merasa enak di dalam
batin. Melatih pikiran dengan cara melawan kecenderungan di dalam diri
seperti ini, memerlukan disiplin diri – kalian harus tahu bagaimana
caranya untuk memberi dan cara untuk melepaskan, dengan tidak membiarkan
sifat egois tersebut menetap di sana. Begitu kalian mempelajari
bagaimana cara untuk memberi, jika kalian tetap merasa ragu tentang buah
apa yang akan diberikan, lalu ketika kalian sedang mempertimbangkannya,
kalian akan menghadapi kesulitan, dan walaupun kalian memberikan buah
yang lebih besar, tetap akan ada suatu perasaan enggan di sana. Tetapi
segera setelah kalian memutuskan secara tegas untuk memberikan buah yang
lebih besar, masalahnya pun berakhir dan selesai. Inilah yang dinamakan
berusaha melawan kecenderungan di dalam diri sendiri dengan cara yang
benar.
Melakukan hal ini, kalian telah
memenangkan penguasaan atas diri kalian sendiri. Jika kalian tidak dapat
melakukannya, kalian akan menjadi mangsa diri kalian sendiri dan terus
menerus menjadi egois. Kita semua pernah menjadi egois di masa lalu. Ini
adalah kekotoran batin yang perlu dihentikan. Di dalam kitab suci
berbahasa Pali, memberi disebut sebagai “dana”, yang artinya membawa
kebahagiaan bagi pihak lain. Ia adalah salah satu dari kondisi-kondisi
yang membantu membersihkan pikiran dari kekotoran batin. Renungkan hal
ini dan kembangkanlah ia di dalam latihan kalian.
Kalian mungkin berpikir bahwa berlatih
dengan cara ini adalah seperti memburu diri kalian sendiri, tetapi ia
tidaklah demikian. Sebenarnya, ia memburu nafsu keinginan dan kekotoran
batin. Jika kekotoran batin muncul di dalam diri kalian, kalian
melakukan sesuatu untuk mengatasi mereka. Kekotoran batin mirip seperti
kucing liar. Jika kalian memberikannya makanan sebanyak yang ia
inginkan, ia akan selalu datang kembali untuk mencari makanan yang lebih
banyak lagi, tetapi jika kalian berhenti memberikannya makan, setelah
beberapa hari, ia tidak akan datang lagi. Sama halnya dengan kekotoran
batin, mereka tidak akan datang mengganggu kalian, mereka akan
meninggalkan batin kalian dalam keadaan damai. Jadi, daripada merasa
takut akan kekotoran batin, sebaliknya buatlah kekotoran batin itu agar
menjadi takut terhadap kalian. Untuk membuat kekotoran batin menjadi
takut kepada kalian, kalian harus melihat Dhamma di dalam batin kalian.
Di manakah Dhamma muncul? Ia muncul
begitu kita mengetahui dan memahami dengan cara ini. Setiap orang
memiliki kemampuan untuk mengetahui dan memahami Dhamma. Ia bukan
sesuatu yang harus dicari di buku-buku, kalian tidak perlu banyak-banyak
mempelajarinya dari buku untuk memahaminya, renungkan saja ia sekarang
dan kalian akan memahami apa yang sedang saya bicarakan. Setiap orang
dapat melihatnya karena ia berada tepat di dalam hati kita. Semua orang
memiliki kekotoran batin, bukan? Jika kalian mampu melihat mereka, maka
kalian akan mengerti. Di masa lalu, kalian telah menjaga dan mengasuh
kekotoran batin kalian, tetapi kini kalian harus mengetahui kekotoran
batin kalian dan tidak membiarkan mereka datang dan mengganggu kalian.
Latihan yang berikutnya adalah ketahanan
moral (sila). Sila mengawasi dan mengasuh latihan kita dengan cara yang
sama seperti orangtua yang menjaga anak-anak mereka. Memelihara
ketahanan moral berarti tidak hanya menghindari diri dari menyakiti
pihak lain, tetapi juga untuk menolong dan mendukung mereka. Kalian
seharusnya menjaga sedikitnya lima aturan, yakni :
- Tak hanya tidak membunuh atau secara
sengaja menyakiti pihak lain saja, tetapi juga menyebarkan kebaikan hati
terhadap semua makhluk.
- Jujur, menahan diri dari pelanggaran hak-hak pihak lain, dengan kata lain, tidak mencuri.
- Mengetahui bagaimana ukuran yang
moderat dalam hubungan seksual: Dalam kehidupan rumah tangga terdapat
struktur keluarga, berdasarkan pada hubungan antara suami dan istri.
Mengetahui siapa suami atau istri kalian, mengetahui ukuran yang
moderat, mengetahui batasan-batasan yang layak di dalam kegiatan
seksual. Beberapa orang tidak tahu batas. Satu suami atau istri saja
tidak cukup, mereka perlu memiliki yang kedua atau yang ketiga. Kalau
menurut saya, kalian tak akan dapat memakai bahkan satu orang pendamping
pun secara penuh, jadi untuk memiliki dua atau tiga lagi hanyalah untuk
menuruti hawa nafsu saja. Kalian harus mencoba untuk membersihkan
pikiran dan melatihnya untuk mengetahui ukuran yang moderat. Mengetahui
ukuran yang moderat adalah kemurnian yang sebenarnya, tanpanya tindak
tanduk kalian tidak akan ada batasnya. Ketika memakan makanan yang enak,
jangan terlalu berkutat pada bagaimana rasanya, pikirkan perut kalian
dan pertimbangkan berapa jumlah yang cukup untuk keperluannya. Jika
kalian makan terlalu banyak, kalian akan menghadapi masalah, jadi kalian
harus mengetahui ukuran yang moderat.
- Jujur dalam berbicara – ini juga adalah
alat untuk melenyapkan kekotoran batin. Kalian harus jujur dan tulus,
menyukai kebenaran dan adil.
- Menghindarkan diri dari pemakaian
zat-zat yang memabukkan. Kalian harus menahan diri dan memilih untuk
melepaskan hal-hal ini sama sekali. Orang-orang telah cukup dimabukkan
oleh keluarga mereka, sanak saudara dan sahabat-sahabat, kepemilikan
benda-benda materi, harta kekayaan dan semua yang lain. Itu sebenarnya
sudah cukup tanpa harus membuat keadaan menjadi lebih buruk lagi dengan
memakai zat-zat yang memabukkan. Mereka yang memakai dengan jumlah yang
banyak, seharusnya mencoba untuk secara bertahap menguranginya dan pada
akhirnya melepaskannya semua. Mungkin saya seharusnya meminta maaf
kepada kalian, tetapi cara saya berbicara seperti ini adalah untuk
kebaikan kalian sendiri, sehingga kalian bisa memahami mana yang baik.
Kalian perlu mengetahui sesuatunya itu apa. Hal-hal apa yang menindas
kalian di dalam kehidupan sehari-hari kalian? Tindakan-tindakan apa yang
menyebabkan kalian tertekan? Perbuatan yang baik memberikan hasil yang
baik, dan perbuatan buruk memberikan hasil yang buruk pula. Inilah
penyebabnya.
Begitu ketahanan mental menjadi murni,
akan ada suatu perasaan jujur dan baik terhadap pihak lain. Ini akan
membawa kepada kepuasan dan kebebasan dari kekhawatiran dan penyesalan.
Penyesalan yang berasal dari perilaku yang agresif dan merugikan, tidak
akan berada di sana. Ini adalah suatu bentuk kebahagiaan. Ia hampir
menyerupai suatu keadaan surgawi. Ada kenyamanan, kalian makan dan tidur
dengan nyaman, dibarengi dengan kebahagiaan yang muncul dari ketahanan
moral. Inilah hasilnya; memelihara ketahanan moral adalah penyebabnya.
Ini adalah prinsip dari praktek Dhamma – menahan diri dari perbuatan
yang buruk sehingga kebaikan bisa muncul. Jika ketahanan moral dijaga
dengan cara ini, kejahatan akan hilang dan kebaikan akan muncul pada
tempatnya. Ini adalah hasil dari praktek yang benar.
Tetapi ini bukanlah akhir dari cerita.
Begitu orang-orang mencapai sedikit kebahagiaan, mereka cenderung
menjadi tidak perduli dan tidak melanjutkan latihan mereka lagi. Mereka
terjebak di dalam kebahagiaan. Mereka tak ingin mengalami kemajuan lagi,
mereka lebih menyukai kebahagiaan “di surga”. Ia memang menyenangkan,
tetapi di sana tidak ada pemahaman yang sebenarnya. Kalian harus terus
merenungkannya agar tidak terperdaya. Renungkanlah lagi dan lagi,
tentang kekurangan-kekurangan dari kebahagiaan yang satu ini. Ia fana,
ia takkan bertahan selama-lamanya. Tidak lama lagi, kalian akan berpisah
darinya. Ia bukanlah hal yang pasti, begitu kebahagiaan hilang maka
penderitaan pun muncul pada tempatnya dan air mata menetes lagi. Bahkan
makhluk-makhluk surgawi pun akan berakhir di dalam tangisan dan
penderitaan.
Jadi, Sang Buddha mengajarkan kita untuk
merenungkan kekurangan-kekurangan tersebut, bahwa ada sisi-sisi yang
tidak memuaskan dari kebahagiaan. Biasanya, ketika jenis kebahagiaan
seperti ini dialami, di sana tidak ada pemahaman yang sebenarnya
tentangnya. Kedamaian yang benar-benar pasti dan tahan lama, telah
ditutupi oleh kebahagiaan yang penuh tipu daya ini. Kebahagiaan yang
satu ini bukanlah jenis kedamaian yang pasti atau kekal, melainkan suatu
bentuk kekotoran batin, sejenis kekotoran batin yang lebih halus, yang
kita lekati. Setiap orang ingin bahagia. Kebahagiaan muncul disebabkan
oleh kesukaan kita terhadap sesuatu. Begitu rasa suka tersebut berubah
menjadi ketidaksukaan, penderitaan muncul. Kita harus merenungkan
kebahagiaan ini untuk memahami ketidakpastian dan keterbatasannya.
Begitu segala sesuatunya berubah, penderitaan pun muncul. Penderitaan
ini juga tidak pasti, janganlah berpikir bahwa ia tetap dan mutlak.
Perenungan semacam ini disebut adinavakatha, perenungan terhadap
ketidakcukupan dan keterbatasan dari dunia yang berkondisi. Ini artinya
untuk merenungkan kebahagiaan, daripada menerimanya begitu saja.
Memahami bahwa ia tidak pasti, kalian seharusnya tidak cepat-cepat
melekat kepadanya. Kalian seharusnya memegangnya tetapi kemudian
lepaskanlah ia, untuk melihat manfaat dan bahaya dari kebahagiaan. Untuk
bermeditasi dengan terampil, kalian harus melihat kekurangan-kekurangan
yang bersatu-padu di dalam kebahagiaan. Renungkan dengan cara ini. Bila
kebahagiaan muncul, renungkanlah ia dengan seksama hingga
kekurangan-kekurangan itu menjadi jelas.
Ketika kalian melihat bahwa segala
sesuatunya itu tidak sempurna (dukkha), batin kalian akan memahami
nekkhammakatha, perenungan tentang pembebasan dari hawa nafsu. Pikiran
ini akan menjadi tidak tertarik dan mencari jalan keluar.
Ketidaktertarikan muncul setelah melihat bagaimana bentuk-bentuk itu
sebenarnya, bagaimana citarasa-citarasa itu sebenarnya, bagaimana cinta
dan benci itu sebenarnya. Menjadi tidak tertarik artinya bahwa tidak ada
lagi keinginan untuk melekat atau terikat pada segala sesuatunya. Ada
penarikan mundur dari kemelekatan, sampai pada suatu titik di mana
kalian bisa tinggal dengan nyaman, memperhatikan dengan suatu ketenangan
yang bebas dari keterikatan. Inilah kedamaian yang muncul dari latihan.
-Evam-
Catatan: Ceramah ini diberikan di Vihara Hampstead, London, pada tahun 1977.
Sumber: “The Teachings Of Ajahn Chah”, Sub judul: “Living Dhamma – Meditation”
Oleh: Y. M. Ajahn Chah
Diterjemahkan oleh: TN
http://bhagavant.com/meditasi-dhamma-yang-hidup
Belum ada tanggapan untuk "Meditasi – Dhamma Yang Hidup"
Post a Comment