Anda pasti pernah mendengar (atau bahkan mengatakan) ungkapan, “lu
ngomong apa sih?”. Biasanya hal ini dikatakan ke seseorang yang barusan
mengatakan sesuatu yang:
– Kata-katanya tidak terdengar
– Kata-katanya terdengar, namun tidak bisa
dimengerti
– Kata-katanya bisa dimengerti, namun mungkin tidak nyambung atau tidak ada relevansinya dengan pembicaraan sebelumnya.
Hal yang sama bisa juga terjadi saat seseorang memperhatikan sebuah
foto. Mereka bisa berkomentar, “Ini foto apaan sih?” Nah, tentunya ini
bukan hal yang kita inginkan, kan? Bagaimana mencegahnya?
Seperti dalam hal perkataan di atas, komentar tersebut bisa muncul karena penyebab yang (kurang lebih) sama:
Mereka tidak bisa melihat fotonya dengan baik
Mungkin ada kesalahan dalam proses penyajian foto (upload yang error,
proses print yang gagal, dsb), sehingga fotonya tidak bisa terlihat
dengan baik. Mungkin Anda menyajikan fotonya dalam ukuran yang terlalu
kecil sehingga tidak terlihat; atau bisa juga ukurannya terlalu besar
sehingga fotonya tidak bisa dinikmati tanpa scrolling monitor atau
menggerakkan kepala ke sana ke mari.
Bagaimana agar hal ini tidak menjadi masalah? Pastikan proses
penyajian foto Anda “pas”. Pas ukurannya, pas penempatannya, dan pas
prosesnya :)
Mereka tidak bisa mengerti apa yang Anda foto
Ada sebuah konsep yang dinamai POI (Point of Interest); POI sebuah
foto adalah “apa yang Anda foto”. Misalnya, pada contoh foto di atas,
POI nya adalah anak kecil yang sedang bermain perosotan.
Sebuah foto bisa membingungkan bagi permirsanya ketika mereka tidak
bisa menentukan (dengan mudah) apa yang sebenarnya difoto. Bagaimana
agar POI sebuah foto jelas?
– Pastikan POI tersebut menonjol. Hal ini bisa dilakukan menggunakan:
selective sharpness (dengan kata lain: POInya tajam sementara sisanya ngeblur/bokeh), selective color (tidak disarankan karena seringnya malah jadi corny/cheesy),
kontras brightness (obyek terang dengan background/foreground yang
gelap, atau sebaliknya), kontras warna (apel merah di antara apel
hijau), ukuran (lebih besar/dekat), dan sebagainya.
– Kurangi/hilangkan hal-hal yang bisa membingungkan pemirsa karena
bisa disalahartikan sebagai POI juga. Hal ini bisa dilakukan dengan
memilih angle motret sedemikian sehingga hal yang bisa mengganggu tidak
masuk frame foto; atau dengan memilih FL lensa yang tepat (semakin tele
lensa, semakin sempit background yang masuk frame.. tapi lensa wide juga
bisa digunakan karena membuat background terlihat jauh lebih kecil
daripada obyek)
Apakah semua foto harus mempunyai POI?
Sama sekali tidak. Sama seperti sebuah cerita tidak harus mempunyai
karakter utama, foto juga tidak harus mempunyai POI. Foto abstrak,
misalnya, biasanya tidak mempunyai POI (atau bisa juga dikatakan: semua
yang ada di dalam foto tersebut adalah POI). Begitu juga dengan foto
landscape yang berusaha menampilkan keindahan dari semua elemen di dalam
foto tersebut.
Hanya saja, perlu dicatat, lebih sulit membuat film/foto yang bagus
tanpa karakter utama/POI. Begitu juga dengan POI yang lebih dari satu..
Apakah boleh ada lebih dari satu POI dalam sebuah foto?
Seperti juga sebuah film bisa mempunyai karakter utama lebih dari
satu, sebuah foto bisa juga mempunyai lebih dari satu POI. Yang penting,
POI-POI tersebut tidak membingungkan pemirsa…… kecuali jika Anda memang
sengaja ingin membingungkan pemirsa!
Ngomong-ngomong tentang kesengajaan, kita lanjut ke poin berikutnya:
Mereka tidak melihat mengapa hal tersebut layak difoto
Jika POI adalah karakter utama sebuah film, maka alasan Anda memotret
adalah “tema” dari film tersebut. Apakah Anda masih ingat film “Pursuit
of Happyness”?
Film tersebut menceritakan seorang ayah dan anak. Itu POInya.
Tapi apa yang sebenarnya “disampaikan” oleh film tersebut? Apa tema
yang ingin disampaikan oleh film tersebut? Jawabannya bisa subyektif dan
relatif bagi masing-masing orang, tapi bagi saya Pursuit of Happyness
adalah film yang menceritakan tentang perjuangan untuk meraih cita-cita
dan membahagiakan orang yang kita cintai.
Seperti juga dalam film, “tema” sebuah foto bisa bermacam-macam. Tapi
seperti juga film mempunyai genre tertentu (drama, komedi, dsb.) yang
menjadi tema utama, foto juga demikian. Saya pribadi membagi “tema
utama” foto menjadi tiga:
Cerita atau makna
Foto dengan tema ini adalah foto yang menyampaikan suatu cerita,
mengandung sebuah makna, atau membuat pemirsanya merasakan/memikirkan
sesuatu yang di”rancang” oleh sang fotografer. Tema ini banyak diusung
oleh street photography atau jurnalisme. Tentu saja tidak menutup
kemungkinan landscape atau portrait untuk menceritakan sesuatu atau
menyampaikan suatu makna :)
Makna yang disampaikan pun tidak harus eksplisit. Bahkan, jika terlalu eksplisit biasanya foto tersebut akan jadi foto yang cheesy, corny,
atau pasaran. Sebuah foto landscape bisa menyampaikan makna “kesepian”
dengan memilih obyek yang tepat dan menyajikannya dengan cara yang tepat
pula.
Keindahan
Foto dengan tema ini adalah foto yang secara estetika enak dilihat.
Bisa karena obyeknya memang enak dilihat, atau karena komposisinya.
Contoh pertama yang teringat jika kita membicarakan foto yang enak
dilihat pasti adalah foto model atau fashion; contoh kedua foto
landscape. Tapi jangan salah, foto jurnalisme atau street photography
atau makro juga bisa punya nilai lebih dalam aspek keindahan jika
komposisinya bagus! :)
Keunikan
Seperti juga film bisa bagus karena jalan ceritanya unik, begitu juga
dengan sebuah foto. Foto makro, misalnya, menyajikan sudut pandang yang
asing bagi kita, karena itu jadi menarik.
Kombinasi
Sama seperti sebuah film bisa digolongkan ke dalam lebih dari satu
genre (horror comedy, misalnya), sebuah foto juga bisa mempunyai lebih
dari satu “tema utama” yang ingin disampaikan. Hanya saja, saya masih
belum bisa menyimpulkan kombinasi yang menghasilkan foto paling bagus;
dan saya juga tidak yakin bisa dirumuskan seperti itu..
Foto adalah sebuah media komunikasi visual
Jangan lupa bahwa, jika kita melihat murni dari segi fotografi, maka
yang Anda punya untuk menyampaikan tiga hal di atas hanyalah apa yang
ada di foto saja. Memang, Anda bisa menambahkan informasi tambahan
berupa judul foto, menambahkan tulisan dalam foto, atau bahkan
menyertakan sebuah essay untuk disajikan bersama fotonya, tapi itu sudah
bukan murni fotografi lagi, dan bukan jadi pembahasan di sini (bukan
berarti hal tersebut salah atau dipandang rendah, itu sih selera).
Selain itu, kalaupun Anda memberikan informasi tambahan, akan tetap
lebih bagus jika fotonya sendiri lebih bisa “berbicara”, bukan? :)
Karena itu, pastikan bahwa angle yang Anda pilih, komposisi yang Anda
susun, timing memotret, dsb, mampu menyampaikan apa yang ingin Anda
sampaikan dengan tepat. Jika Anda memilih dengan cukup jeli, bahkan Anda
bisa menyampaikan sesuatu yang tidak ada di kenyataan.
Timing
saat memotret (well, ditambah editing) menghasilkan foto yang secara
visual menyampaikan sesuatu yang (percaya deh) amat sangat berbeda
dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Sang fotografer mengarahkan
modelnya untuk berpose memalingkan kepala, sambil tersenyum ramah, namun
secara visual yang terkesan adalah sang model yang memalingkan kepala
karena tidak ingin disentuh si fotografer (yang sedang tersenyum mesum).
Apakah selalu salah fotografernya?
Jika seseorang mengomentari sebuah foto dengan “ini foto apa, sih?”, apakah itu selalu salah fotografernya? Tidak.
Sebuah foto, seperti juga sebuah film atau sebuah kalimat,
diterjemahkan dan dinikmati oleh pemirsanya. Seseorang mungkin tidak
punya selera yang sama dengan fotografernya, atau tidak terlatih untuk
mengenali pola-pola estetika visual yang menjadi daya tarik suatu foto,
atau tidak mempunyai empati yang cukup untuk merasakan sesuatu setelah
melihat suatu foto, dan sebagainya..
Jadi, jangan terlalu kecewa bila ada orang yang tidak “mengerti” foto
Anda.. Mungkin mereka yang tidak paham.. Walaupun mungkin juga memang
Anda yang kurang perhitungan saat memotret!
Yang penting, keep jepret dan enjoy photography! :)
Sumber :
https://blajarmotret.wordpress.com/2012/09/08/ini-foto-apaan-sih/
Belum ada tanggapan untuk "ini foto apa???"
Post a Comment